Relevansi Budapest Convention on Cybercrime dengan Sistem Hukum Indonesia

Budapest Convention on Cybercrime adalah perjanjian internasional pertama terkait dengan usaha untuk melindungi masyarakat dari kejahatan komputer dan kejahatan di internet melalui undang-undang dan kerjasama internasional terkait kejahatan di dunia maya seperti pelanggaran hak cipta, penipuan yang berkaitan dengan komputer, pornografi anak, kejahatan kebencian, dan pelanggaran keamanan jaringan.

Seperti namanya convention ini di laksanakan pada tanggal 23 November 2001 di Budapest namun hasil dari convention berlaku sejak tanggal 1 juni 2004. Terdapat 57 negara yang menerapkannya termasuk yang tergabung dalam uni eropa.

1. Konsep Yurisdiksi dalam ruang cyber

Konsep Yurisdiksi merupakan hal yang sangat penting ada di suatu negara apalagi yang berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan di dunia maya. Dengan adanya yurisdiksi terkait ruang cyber menjadi tombak utama dalam mengadili suatu tindak kejahatan. Ada 3 yurisdiksi ruang cyber yang dimiliki suatu negara yaitu

a. Yurisdiksi Legislatif
b. Yurisdiksi Yudisial dan
c. Yurisdiksi Eksekutif

Dari ketiga yurisdiksi di atas berkaitan dengan batas-batas kewenangan negara dalam bidang penegakan hukum. Indonesia sebagai negara yang berdaulat memiliki yurisdiksi cybercrime yaitu yang tertuang dalam UU ITE 2008 yaitu “setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana di atur dalam undang-undang ini baik berada di wilayah hukum indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum indonesia dan/atau di wilayah hukum indonesia dan merugikan kepentingan indonesia “. (Pasal 2 UU ITE)

2. Relevansi Budapest Convention on Cybercrime dengan Hukum di Indonesia

ada beberapa keterkaitan hukum indonesia  dengan Budapest Convention on Cybercrime seperti:

a. Pasal 2 tentang Illegal Acces: Menyatakan bahwa melakukan akses ke seluruh atau sebagian sistem komputer tanpa hak dan dengan sengaja merupakan pelanggaran kriminal. Pasal ini tertuang dalam pasal 30 ayat 1,2 dan 3 UU ITE No 11 Tahun 2008.

b. Pasal 3 tentang Illegal interception: Menyatakan bahwa Perbuatan penyadapan tanpa hak dan dengan sengaja, yang dilakukan secara teknis atau melalui transmisi-transmisi data komputer ke, dari, atau dalam suatu sistem komputer, termasuk emisi elektromagnetik dari sistem komputer yang membawa data komputer tersebut merupakan suatu pelanggaran. Pasal ini tertuang dalam Pasal 31 Ayat 1, 2, 3 dan 4 UU ITE

c. Pasal 4 tentang Data interference: Menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja terkait penghancuran, penghapusan, perusakan, perubahan, atau penyembunyian data komputer tanpa hak merupakan sebuah pelanggaran kriminal.  Pasal ini tertuang dalam Pasal 32 Ayat 1, 2, dan 3 UU ITE No 11 Tahun 2008.

d. Pasal 5 tentang System interference: Menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang mengakibatkan terganggu nya sistem komputer orang lain dengan melakukan input, transmisi, penghancuran, penghapusan, perusakan, perubahan, atau penyembunyian data merupakan sebuah pelanggaran kriminal. Pasal ini tertuang dalam Pasal 33 UU ITE No 11 Tahun 2008.

“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.”

e. Pasal 6 tentang Misuse of devices: Bahwa pencurian, penyediaan, penjualan, dan distribusi dari data komputer yang diperoleh dari sebuah alat merupakan pelanggaran kriminal. Yang dimaksud alat disini adalah hardware maupun software yang telah di modifikasi untuk mendapatkan akses dari komputer ataupun jaringan komputer. Pasal ini tertuang dalam Pasal 34 UU ITE No 11 Tahun 2008.

f. Pasal 7 tentang Computer-related forgery: Menyatakan ditetapkan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum nasional, bila dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak, masukan, perubahan, penghapusan, atau penindasan data komputer, yang menghasilkan data yang tidak autentik dengan maksud bahwa hal itu dianggap atau ditindaklanjuti untuk tujuan hukum seolah-olah bersifat autentik, terlepas dari apakah data tersebut dapat dibaca dan dimengerti secara langsung. Suatu Pihak mungkin memerlukan niat untuk menipu, atau maksud tidak jujur ​​lainnya, sebelum pertanggungjawaban pidana melekat. Pasal ini tertuang dalam Pasal 35 UU ITE No 11 Tahun 2008.

“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, menghilangkan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang autentik. ”

g. Pasal 8 tentang Computer-related fraud: Menyebutkan bahwa ditetapkan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum nasional, bila dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak, menyebabkan hilangnya harta benda kepada orang lain dengan:

1) setiap masukan, perubahan, penghapusan atau penindasan data komputer,

2) Setiap gangguan dengan berfungsinya sistem komputer, dengan niat curang atau tidak jujur ​​untuk pengadaan, tanpa hak, keuntungan ekonomi untuk diri sendiri atau orang lain. 

Pasal ini juga tertuang dalam Pasal 35 UU ITE No 11 Tahun 2008.

h. Pasal 9 tentang Offences related to child pornograph: Menyebutkan bahwa melakukan tindakan eksploitasi terhadap pornografi anak seperti mendistribusikan pornografi anak melalui sistem komputer, menawarkan atau menyediakan pornografi anak melalui sistem komputer, dan lain sebagainya yang bersinggungan dengan pornografi anak merupakan tindakan kriminal. Istilah anak disini yaitu untuk seseorang yang masih berada dibawah umur. Dibawah umur beberapa Negara mengisyaratkan dibawah 18 tahun, namun ada juga yang mengisyaratkan dibawah itu, namun tidak lebih muda dari 16 tahun. Pasal ini tertuang dalam Pasal 27 Ayat 1 UU ITE No 11 Tahun 2008.

i. Pasal 10 tentang Offences related to infringements of copyright and related rights: Menyatakan bahwa pelanggaran hak cipta yang bersifat komersil yang dilakukan melalui sistem komputer merupakan tindakan kriminal. Pasal ini tertuang dalam Pasal 23-26 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008

j. Pasal 11 tentang Attempt and aiding or abetting: Bahwa siapapun yang membantu atau bersekongkol dengan pihak yang melakukan pelanggaran seperti pasal 2 sampai 10 konvensi ini juga akan termasuk dalam melakukan tindakan kriminal. Pasal ini tidak di jelaskan dalam UU ITE namun dalam pasal 34 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 juga menyatakan “pihak Mencoba dan membantu atau bersekongkol dalam melakukan kejahatan”  dan dirasa relevan dengan pasal yang dimaksudkan.

k. Pasal 13 tentang anctions and measures: Setiap pihak wajib mengambil tindakan legislatif dan lainnya yang diperlukan. Selain itu, juga menjelaskan tentang sanksi pidana atau non-pidana yang efektif proporsional. Pasal ini juga tertuang dalam Pasal 45-52 UU ITE No 11 Tahun 2008.

l. Pasal 14 tentang Scope of procedural provisions:  Menetapkan kekuatan dan prosedur yang diatur dalam bagian ini dimaksudkan untuk investigasi kriminal tertentu atau proses. Pasal ini tertuang dalam Pasal 17, 43 ayat 5 huruf H UU ITE No 11 Tahun 2008.

m. Pasal 15 tentang Conditions and safeguards: Pasal ini berisi tentang kondisi dan perlindungan. Pasal ini tertuang dalam Pasal 12 Ayat 1, 2 dan 3 UU ITE No 11 Tahun 2008.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum di indonesia  memiliki keterkaitan dengan budapest convention on cybercrime dilihat dari beberapa aspek kebijakan hukum yang dikeluarkan seperti UU ITE No 11 Tahun 2008.

Referensi :

Council of Europe (2001). Convention on Cybercrime. European Treaty Series No. 185. Budapest. https://rm.coe.int/1680081561

Sutiyoso, B. (2015). Manajemen, Etika & Hukum Teknologi Informasi. Yogyakarta: UII Press.

UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Tinggalkan komentar